Publik terperangah
atas fenomena
pemusnahan orang utan yang makin dibiarkan. Pada akhir tahun 2011 ini
Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia karena kasus pembantaian orang
utan di Kalimantan Timur. Survey yang diadakan The Nature Conservancy dan 19
organisasi lain mewawancarai hampir 7000 orang di 687 desa di Kalimantan, yang
menyimpulkan bahwa sedikitnya 750 ekor orang utan dibunuh pada periode April
2008 hingga September 2009.
Film “The Green”
yang bisa diunduh gratis di www.greenthefilm.com,
menceritakan kisah tragis seekor orang utan korban penggundulan hutan dan
bagaimana habitat mereka dirusak oleh ekspansi perkebunan kayu dan sawit. Film
langganan festival ini juga membuka mata dunia tentang kritisnya keadaan
spesies orang utan sejak tahun lalu.
Prihatin dengan
keadaan ini, kelompok musik Navicula meluncurkan single berjudul “Orangutan”
pada 17 Desember 2011 lalu. Kabarnya, single tersebut hanya tersedia satu
minggu saja untuk diunduh
secara gratis di sini.
Navicula sudah
banyak berkarya dengan lagu bertema lingkungan. Setidaknya dari karir mereka
yang saya ikuti, ada lagu “Overkonsumsi” yang gamblang meminta
pertanggungjawaban negara-negara di dunia dalam isu perubahan iklim. Ada juga
lagu “Pantai Mimpi” yang menceritakan tentang eksploitasi alam Pulau Dewata,
dan yang terbaru adalah “Metropolutan” yang keras menyindir kota besar macam
Jakarta.
“Orangutan”
sepertinya juga bukan satu-satunya tema lingkungan hidup yang akan diangkat
pada album berikut Navicula. Di album ketujuh tersebut—yang rencananya bakal
dirilis awal 2012—mereka juga akan mengantarkan tema yang kurang lebih sama
dalam “Harimau! Harimau!” Apakah lagu tersebut akan menceritakan sekaratnya
populasi harimau Sumatera dan punahnya harimau Jawa dan Bali, kita harus lihat
nanti.
Akrabnya Navicula
dengan tema-tema lingkungan membuat kuartet Robi (vokal), Dankie (gitar), Made
(bass) dan Gembull (drum) ini dijuluki ‘The green grunge gentlemen’. Julukan
ini tak lain karena pengaruh musik 90-an grunge yang dipadu dengan isu-isu
lingkungan hidup—plus perpaduan elemen budaya spiritual Bali.
Pada tanggal 17
Desember lalu, “Orangutan” tidak diluncurkan secara konvensional. Dalam event
“Suara untuk Alam II”, Navicula bekerja sama dengan organisasi yang
mengadvokasi isu lingkungan seperti Walhi Bali, Akarumput dan Sawit Watch. Dari
ancaman terhadap spesies orang utan, isu berkembang menjadi hilangnya hutan
habitat mereka dan ekspansi perkebunan yang dituding menjadi sebab utama.
Hebatnya lagi,
promosi single ini ternyata sama sekali tidak menggunakan kertas baru.
Manajemen Navicula hanya menggunakan kertas bekas dan jalur promosi online.
“Karena industri kertas adalah salah satu pemeran penting dalam penebangan
hutan tropis; habitat orang utan #SaveOrangutans”, kata mereka di akun twitter
@naviculamusic. Pada acara peluncuran, diadakan lelang barang seni bertemakan
orang utan. Dana yang berhasil dikumpulkan disumbangkan ke Walhi Bali dan
organisasi untuk pelestarian orang utan.
Seperti yang
dinyatakan oleh Erik Meijaard, salah satu pelaku survey yang disebut di atas,
kasus pembantaian orang utan hanya disikapi adem ayem saja oleh masyarakat,
konsumen, bahkan organisasi lingkungan. Padahal banyak yang bisa kita lakukan.
Apa yang dilakukan
Navicula dengan single “Orangutan” adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran
orang tentang ancaman terhadap spesies orang utan, juga lingkungan kita secara
umum.
“Orang utan akan
jadi legenda,” demikian refrain di single tersebut yang dinyanyikan
berulang-ulang. Jangan sampai terjadi.
(Sumber : http://id.omg.yahoo.com/blogs/mohammed-ikhwan/)
0 komentar:
Posting Komentar